![]() |
Advokat LLAJ, Eddy Suzendi, SH. |
Artikel,
Keselamatan peserta didik memang nomor satu. Namun melarang kegiatan pendidikan luar ruang secara total justru bisa menimbulkan kerugian jangka panjang dalam aspek mental, sosial, dan ekonomi.
polkrim-news.com || Larangan Study Tour sekolah oleh beberapa pemerintah daerah pasca kecelakaan maut adalah respons emosional yang bisa dipahami, namun sayangnya salah alamat dan tidak menyentuh akar persoalan. Ibarat ada kebakaran karena korsleting listrik, lalu semua aktivitas rumah tangga dilarang padahal masalahnya ada pada instalasi listrik yang tidak memenuhi standar keselamatan.
Dalam dunia pendidikan, Study Tour adalah bentuk pembelajaran kontekstual. Ia menjadi wahana mengenalkan peserta didik pada realitas sosial, budaya, dan profesi yang tak bisa sepenuhnya diajarkan di dalam kelas. Banyak SMK, seperti jurusan pariwisata, perhotelan, hingga transportasi, menjadikan kegiatan kunjungan industri dan destinasi wisata sebagai bagian dari kurikulum.
Namun begitu, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan rombongan pelajar, yang disorot dan dijatuhi sanksi justru kegiatan studinya, bukan sistem keselamatan transportasinya. Ini menunjukkan bahwa kita cenderung menyasar gejala, bukan menyelesaikan penyebab utama.
Permasalahan utama bukan pada aktivitas study tour nya, tetapi pada :
* Penggunaan kendaraan tidak laik jalan dan tidak lolos uji KIR, dipaksakan
* Perusahaan otobus (PO) abal abal yang tidak memenuhi standar keselamatan,
* Pengemudi yang kelelahan atau tidak kompeten membawa rombongan besar,
* Minimnya pengawasan terhadap sistem manajemen keselamatan oleh penyelenggara,
* Tidak adanya asuransi yang memadai bagi penumpang.
* Solusi sesungguhnya bukan pelarangan, tetapi penataan.*
Pemerintah pusat dan daerah perlu bersinergi membangun sistem yang memaksa perusahaan angkutan niaga mematuhi standar Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum (SMKPAU) sebagaimana diatur dalam:
*Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
* PP No. 74 Tahun 2014, dan
* Permenhub No. 85 Tahun 2018.
Selain itu, perlu pembenahan menyeluruh terhadap:
* Sistem audit teknis kendaraan,
* sertifikasi pengemudi,
* Pengawasan terhadap agen perjalanan,
* Mekanisme tender atau pemilihan PO oleh sekolah,
* Penjaminan asuransi komersial sesuai ketentuan Undang undang peraturan Pemerintah ( bila sudah direvisi lebih baik)
* Pelibatan Dinas Perhubungan dalam Ramcheck kendaraan sebelum berangkat.
Studi tour bukan hanya rekreasi. Ia bagian dari metode pembelajaran kontekstual yang menghubungkan teori di kelas dengan realitas lapangan. Banyak sekolah, terutama SMK Pariwisata, menjadikan kunjungan ke destinasi wisata, hotel, museum, dan tempat budaya sebagai bagian dari kurikulum praktik.
Namun, setelah rentetan kecelakaan tragis, muncul reaksi keras berupa larangan menyeluruh dari beberapa pemerintah daerah. Hal ini mengundang polemik. Yang dikhawatirkan bukan hanya dampaknya pada pendidikan, tapi juga pada denyut nadi industri pariwisata dan ekonomi lokal.
*Industri Pariwisata Terdampak Langsung oleh Kebijakan Larangan*
Larangan studi tour membawa efek domino
* Penurunan Kunjungan Wisata Domestik. Kota seperti Yogyakarta, Bandung, Malang, dan Bali mengalami penurunan kunjungan akibat larangan dari daerah asal siswa.
* Hotel dan Kuliner Kehilangan Pangsa Pasar. Kegiatan studi tour sekolah menyumbang 10–20% dari pendapatan tahunan sektor akomodasi dan kuliner, khususnya pada low season (musim sepi).
* Transportasi Pariwisata Lumpuh. Banyak perusahaan otobus (PO) skala kecil mengandalkan pesanan dari sekolah untuk menjaga cashflow. Dengan adanya larangan, armada menganggur, sopir kehilangan penghasilan, dan perawatan kendaraan ditunda.
*Efek Ekonomi Turunan (Multiplier Effect)*
Studi tour menciptakan efek ekonomi berlapis:
* UMKM Lokal. Penjual oleh oleh, warung makan, pemandu wisata, tukang parkir hingga pengelola tempat wisata sangat bergantung pada rombongan pelajar.
* Agen Travel. Penurunan permintaan membuat banyak biro perjalanan merugi, bahkan terpaksa merumahkan karyawan.
* Lapangan Kerja Terancam. Larangan ini bisa memperlambat pemulihan sektor pariwisata yang baru bangkit pasca pandemi COVID-19.
*Menata, Bukan Melarang*
Keselamatan peserta didik memang nomor satu. Namun melarang kegiatan pendidikan luar ruang secara total justru bisa menimbulkan kerugian jangka panjang dalam aspek mental, sosial, dan ekonomi.
Dibutuhkan kebijakan yang cerdas, holistik, dan berbasis data. Jika ada insiden karena pengemudi tak kompeten atau kendaraan tidak layak jalan, maka yang perlu dibereskan adalah sistem seleksi dan pengawasan terhadap PO dan sopir, bukan mematikan kegiatan edukatifnya.
Jika terjadi markup liar oleh oknum sekolah atau calo perjalanan, maka yang perlu dibenahi adalah mekanisme akuntabilitas dan transparansi, bukan mengorbankan hak siswa untuk belajar dari lingkungan.
*Rekomendasi*
1 *Moratorium terbatas dan bersyarat, bukan larangan total.*
2.*Wajib audit dan akreditasi PO yang melayani pelajar.*
3 *Keterlibatan Dishub dan Kepolisian dalam pengawasan sebelum berangkat.*
4.*Sanksi tegas bagi PO dan travel agent nakal.*
5.*Penguatan edukasi keselamatan berkendara bagi siswa dan guru.*
*CLOSING STATEMENT*
Keselamatan anak bangsa memang harga mati. Tapi mari kita pastikan bahwa dalam melindungi mereka, kita tidak mematikan ruang belajar, memukul sektor pariwisata, dan menghancurkan ekonomi lokal. Larangan adalah solusi instan yang menenangkan sesaat, tapi bisa memunculkan masalah baru yang lebih luas.
Sebaliknya, penataan sistem transportasi wisata yang berbasis keselamatan, akuntabilitas, dan kolaborasi antar instansi akan membawa manfaat jangka panjang bagi dunia pendidikan, industri, dan masa depan negeri.
*Advokat LLAJ
Posting Komentar